Karet
Dalam kehidupan manusia modern saat ini banyak peralatan-peralatan yang menggunakan bahan yang sifatnya elastis tidak mudah pecah bila terjadi jatuh dari suatu tempat. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan tersebut secara langsung kebutuhan karet juga meningkat dengan sendirinya sesuai kebutuhan manusia.
Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan (dikenal sebagai latex) yang diperoleh dari getah beberapa jenis tumbuhan pohon karet tetapi dapat juga diproduksi secara sintetis. Sumber utama barang dagang dari latex yang digunakan untuk menciptakan karet adalah pohon karet Havea Brasiliensis. Ini dilakukan dengan cara melukai kulit pohon sehingga pohon akan memberikan respons yang memberikan banyak latex lagi.
Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet di Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 2.0 juta ton pada tahun 2005. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada semester pertama tahun 2006 mencapai US $ 4,2 milyar (kompas, 2006).
Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi karet ini dimasa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatkan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan peremajaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau pekebun swasta untuk membiayai pembangunan karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif.
Agribisnis karet alam di masa datang akan mempunyai prospek yang makin cerah karena adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam, kecenderungan penggunaan green tyres, meningkatnya industri polimer pengguna karet serta makin langka sumber-sumber minyak bumi dan makin mahalnya harga minyak bumi sebagai bahan pembuatan karet sintetis. Pada tahun 2002, jumlah konsumsi karet dunia lebih tinggi dari produksi.
Indonesia akan mempunyai peluang untuk menjadi produsen terbesar dunia karena negara pesaing utama seperti Thailand dan Malaysia makin kekurangan lahan dan makin sulit mendapatkan tenaga kerja yang murah sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia akan makin baik. Kayu karet juga akan mempunyai prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan. Arah pengembangan karet ke depan lebih diwarnai oleh kandungan IPTEK dan kapital yang makin tinggi agar lebih kompetitif.
1.Lokasi perkebunan karet di Indonesia
Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk pertanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Luas area perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karet rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet nasional pada tahun 2005 mencapai 2.2 juta ton. Jumlah ini masih akan bisa ditingkatkan lagi dengan melakukan peremajaan dan memberdayakan lahan-lahan pertanian milik petani serta lahan kosong/tidak produktif yang sesuai untuk perkebunan karet.
2.Pentingnya Pengamatan Mulai dari produksi dan Konsumsi
Karena karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra–sentra baru diwilayah sekitar perkebunan karet, maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Pengamatan produksi dilakukan pada seluruh aspek kegiatan yang berkaitan dengan produksi, yang meliputi :
a.Kegiatan proses produksi
b.Kualitas produk yang dihasilkan, apakah telah sesuai dengan standarisasi (SIR) yaitu merupakan faktor yang menentukan dalam tercapainya jaminan mutu untuk setiap produk, dapat dilihat dari keaamanan, keselamatan, dan kesehatan bagi konsumen.
c.Biaya produksi yang dikeluarkan harus disesuaikan dengan harga karet dunia agar petani tidak mengalami kerugian dan didukung dengan kualitas karet itu sendiri.
d.Pentingnya IPTEK bagi para petani, agar proses produksi dapat berjalan dengan baik yang akan berimbas pada peningkatan hasil produksi.
e.Skala Produksi, produksi karet alam dunia meningkat dari 2 juta ton lebih pada tahun 1960 mencapai 6,15 juta ton pada tahun 1996 dengan laju pertumbuhan 3,2% per tahun. Namur selama 6 tahun terakhir (1996-2002) produksi karet alam dunia tidak memperlihatkan pertumbuhan yang mencolok yaitu hanya sekitar 2,15% per tahun.
Pentingnya pengamatan konsumsi :
Pengamatan konsumsi dilakukan guna mengetahui apakah karet yang diolah dan diproses memiliki nilai ekonomis dan kualitas produknya memiliki standar yang dapat diterima oleh konsumen.
Bila ditinjau untuk skala konsumsi karet itu sendiri sangat besar peluang dan daya belinya. Dalam 6 tahun terkahir (1996-2002) konsumsi agregat karet alam dunia tumbuh sekitar 3,0% per tahun. Pada tahun 2002 konsumsi karet alam dunia tercatat sekitar 7,39 juta ton, yang berarti lebih besar daripada tingkat produksi pada tahun yang sama. Lebih tingginya konsumsi dibanding produksi pada tahun 2002 mencerminkan pertumbuhan konsumsi yang lebih cepat sebagai dampak dari perubahan factor produksi dan persaingan. Dengan makin majunya karet di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan konsumsi dan ekspor karet, sehingga produksi karet pada tahun 2035 diperkirakan naik sebesar 31,3 juta ton untuk industri ban dan non ban, dan 15 juta ton untuk karet alam.
3.Prospek karet dari sisi permintaan
Harga karet alam dipengaruhi permintaan (konsumen) dan penawaran (produksi) serta stok dan cadangan. Menurut Internasional Rubber Study Group (IRSG) tentang permintaan diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan karet alam pada periode dua dekade kedepan, terutama pabrik–pabrik ban seperti Bridgeston, Goodyar dan Michclin, sehingga pada tahun 2004, IRSG membentuk Task Force Rubber Economi Project (REP) untuk melakukan studi tentang permintaan dan penawaran karet sampai dengan tahun 2035. Hasil studi REP menyatakan bahwa permintaan karet alam dan sintetik dunia pada tahun 2035 ada sebesar 31,3 juta ton untuk industri ban dan non ban, dan 15 juta ton diantaranya ada karet alam
Permintaan merupakan banyaknya barang yang diminta, dalam hal ini disebut konsumsi. Faktor yang mempengaruhi perubahan tingkat permintaan karet adalah konsumen dan harga. Konsumen akan membeli jika harga karet dianggap murah atau bisa dijangkau. Sebaliknya konsumen tidak akan membeli kalau harga diluar jangkauannya. Oleh karena itu, permintaan tergantung pada daya beli konsumen.
Konsumsi karet alam disaingi oleh barang pengganti karet. Barang pengganti ini pengaruhnya sangat dominan terhadap perkembangan usaha perkembangan karet alam. Semakin banyak barang pengganti karet, karet sintetis, akan semakin besar pengaruhnya apalagi diikuti oleh harga yang lebih rendah.
Daya beli konsumen selalu dipengaruhi oleh naik turunnya kurs valuta asing, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia sebab nilai kurs mempengaruhi pendapatan nilai devisa negara.
Besarnya konsumsi karet sintetis disebabkan akan naiknya permintaan akan mobil. Dinegara industri mobil permintaan karet sintetis sangat besar (70%), sedangkan negara-negara berkembang hanya (30%). Semua kegiatan memacu industri karet alam dalam merebut pasar tidak lepas dari harga. Harga karet alam sendiri tidak lepas dari harga barang lain yang diikutsertakan dalam proses produksi. Jika harga output tinggi, berarti biaya akan tinggi dan harga barang akan tinggi pula.
Tingkat konsumsi karet alam Indonesia belum sampai pada tingkat kejenuhan, paling tidak sampai pada beberapa dasawarsa mendatang. Pada saat tingkat kejenuhan itu tercapai, industri karet alam sangat diharapkan tetap menggunakan karet alam untuk sebagian besar industri. Dengan demikian angka konsumsi karet menjadi berimbang. Sekarang yang harus dipertahankan adalah harga karet alamnya.
Konsumsi karet alam dunia dalam dua dekade terakhir meningkat secara drastis, walaupun terjadi resesi ekonomi dunia pada awal tahun 1980an dan krisis ekonomi asia pada tahun 1997-1998. Penawaran karet alam dunia pun meningkat lebih dari 3 % per tahun dalam dua dekade terakhir dimana mencapai 8.81 juta ton per tahun.
Untuk perkembangan harga karet sintetik sebagai produk hasil industri harganya relatif stabil dibanding dengan karet alam. Selain itu, karet sintetik harganya cenderung naik sejalan dengan harga bahan baku, kenaikan biaya produksi dan tingkat inflasi dari negara produsen. Hal ini berbeda dengan harga karet alam yang berfluktuasi yang dipengaruhi oleh kondisi alam (cuaca/iklim), nilai tukar dan perkembangan ekonomi negara konsumen.
Seiring dengan terbentuknya kerja sama tripartite antara tiga negara produsen karet alam dunia (Thailand, Indonesia, dan Malaysia), harga karet alam di pasaran dunia memperlihatkan kecenderungan yang membaik. Pada akhir tahun 2001 harga karet alam berkisar antara US $ 46 sen per kg – US $ 52 sen per kg. Setelah masing-masing negara anggota melaksanakan AETS (Agreed Export Tonnage Scheme) dan SMS (Supply Management Scheme). Harga merangkak naik. Pada bulan Januari 2002 mencapai US $ 53,88 sen per kg dan pada bulan Agustus 2003 mencapai US $ 83, 06 sen per kg. Berdasarkan proyeksi jangka panjang (2010-2020) harga karet alam diperkirakan akan dapat mencapai sekitar US $ 2,5 per kg. Hal ini diharapkan akan merupakan daya tarik bagi pelaku bisnis di bidang agribisnis karet di Indonesia.