Mawaris
Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan.
Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan. Dengan adanya system pembagian harta warisan tersebut menunjukan bahwa islam adalah agama yang tertertib,teratur dan damai.
A. Pengertian Mawaris
Kata mawaris berasal dari kata waris ( bahasa arab ) yang berarti mempusakai harta orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta peninggalan orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan orang yang telah meninggal. Ahli waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan ( lihat QS:Al - baqarah : 188 ). Karena sensitif atau rawannya masalah harta warisan itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang warisan dan perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.
Ahli waris laki-laki ada 15 orang, yaitu sebagai berikut:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah
3. Bapak
4. Kakak dari bapak dan terus keatas
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
10. Paman yang sekandung dengan bapak
11. Paman yang sebapak dengan bapak
12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak
13. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak
14. Suami
15. Laki-laki yang memerdekakan si pewaris
( Keterangan no.1 – 13 berdasarkan pertalian darah. Jika lima belas orang itu ada, maka yang dapat menerima hanya tiga, yaitu anak laki-laki, suami, dan bapak ).
Ahli waris perempuan ada 10, yaitu sebagai berikut:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Ibu
4. Nenek dari ibu
5. Nenek dari bapak
6. Saudara perempuan kandung
7. Saudara perempuan bapak
8. Saudara perempuan seibu
9. Istri
10. Wanita yang memerdekakan si pewaris
( Keterangan no.1 - 8 berdasarkan pertalian darah. Jika 10 orang itu ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya lima orang yaitu, Istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan, dan saudara perempuan kandung )
Jika 25 ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya lima orang yaitu, suami atau istri, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
B. Dalil Tentang Mawaris
1. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima warisan sebagaimana yang telah ditetapkan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
Artinya:”Bagi orang yang laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya.baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”( QS. An Nissa:7 )
Selanjutnya lihat pula Qs. An Nissa ayat 11, 12, dan 176.
2. Dari hadits Rasulullah saw, ada yang menerangkan bagian warisan untuk saudara perempuan yang lebih dua orang, bagian nenek dari bapak dan dari ibu serta bagian cucu perempuan dari anak laki - laki dan lain-lain.
Zaid bin sabit adalah sahabat Rasulullah saw.dari kalangan Anshar yang berasal dari suku khajraj. Ia lahir di madinah tahun 11 SH/611M. Ia masuk islam pada tahun pertama hijriyah dan menjadi sekretaris Rasulullah saw. Untuk menulis wahyu yang turun, menulis surat - surat untuk pembesar kaum yahudi serta menjadi penyusun mushaf di masa khalifah Abu Bakar As Siddiq. Ia dikenal sangat ahli dalam ilmu Al Qur’an, tafsir, hadits dan khususnya faraid sehingga dijuluki Ulama masyarakat. Pada masa khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, ia menjabat sebagai mufti ( ahli fatwa ) yang paling berpengaruh dalam bidang faraid, bahwa Rasulullah sendiri pernah bersabda, ”Yang paling ahli dalam ilmu faraid di antara kalian adaah Zaid bin Sabit.”( HR.Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal ). Zaid bin Sabit wafat di Madinah pada tahun 45H/665M.
Artinya:” Sesungguhnya hak wali adalah untuk orang yang memerdekakan.”( Muttafakun alaih )
Artinya:” Berikan warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan sisanya untuk orang laki-laki yang paling berhak.”( Muttafakun alaih )
Artinya:” Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada orang yang memiliki hak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.”( HR.Abu Daud )
C. Ketentuan Hukum Islam Tentang Mawaris
Berdasarkan ketentuan perolehan atau bagian dari harta warisan, ahli waris dapat dikatagorikan menjadi 2 golongan,yaitu sebagai berikut :
1. Zawil Furud
Zawil Furud adalah ahli waris yang perolehan harta warisannya sudah ditentukan oleh dalil Al Quran dan Hadits (lihat QS.An Nissa:11, 12, dan 176). Dari ayat Al Qur’an tersebut, dapat diuraikan orang yang mendapat seperdua, seperempat, dan seterusnya.
A. Ahli waris yang mendapat ½ , yaitu sebagai berikut:
1). Anak pempuan tunggal
2). Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki
3). Saudara perempuan tunggal yang sekandung
4). Saudara perempuan tunggal yang sebapak apabila saudara perempuan yang sekandung tidak ada
5). Suami apabila istrinya tidak mempunyai anak, atau cucu (laki-laki ataupun perempuan) dari anak laki-laki
B. Ahli waris yang mendapat 1/4, yaitu sebagai berikut:
1). Suami apabila istrinya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
2). Istri ( seorang atau lebih ) apabila suaminya tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
C. Ahli waris yang mendapat 1/8, yaitu istri ( seorang atau lebih ) apabila suami mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
D. Ahli waris yang mendapat 2/3, yaitu sebagai berikut:
1. Dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak ada anak laki-laki ( menurut sebagian besar ulama )
2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki apabila anak perempuan tidak ada
( diqiyaskan kepada anak perempuan )
3. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung ( seibu sebapak )
4. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak
E. Ahli waris yang mendapat 1/3, yaitu sebagai berikut:
1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu, atau dia tidak saudara - saudara ( laki-laki atau perempuan ) yangsekandung, yang sebapak atau yang seibu
2. Dua orang atau lebih ( laki-laki atau perempuan ) yang seibu apabila tidak ada anak atau cucu atau anak
F. Ahli waris yang mendapat 1/6, yaitu sebagai berikut:
1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu mempunyai cucu ( dari anaklaki-laki ) atau mempunyai saudara-saudara( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang sebapak atau seibu
2. Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( laki-laki atau perempu an ) dari anak laki-laki
3). Nenek ( ibu dari ibu atau ibu dari bapak ). Nenek mendapat 1/6 apabila ibu tidak ada. Jika nenek dari bapak atau ibu masih ada, maka keduanya mendapat bagian yang sama dari bagian yang 1/6 itu
4). Cucu perempuan ( seorang atau lebih ) dari laki-laki apabila orang yang meninggal mempunyai anak tunggal. Akan tetapi, apabila anak perempuan lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak mendapat apa-apa
5). Kakek apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( dari anak laki-laki ), sedangkan bapaknya tidak ada
6). Seorang saudara ( laki-laki atu perempuan ) yang seibu
7). Saudara perempuan yang sebapak ( seorang atau lebih ) apabila saudaranya yang meninggal itu mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Ketentuan pembagian seperti itu dimaksudkan untuk menggenapi jumlah bagian saudara kandung dan saudara sebapak menjadi 2/3 bagian. Apabila saudara kandungnya ada dua orang atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian
2. Asabah
Asabah adalah ahli waris yang bagian penerimanya tidak ditentukan, tetapi menerima dan menghabiskan sisanya. Apabila yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris yang mendapat bagian tertentu ( zawil furud ), maka harta peninggalan itu semuanya diserahkan kepada asabah. Akan tetapi apabila ada diantara ahli waris yang mendapat bagian tertentu, maka sisanya menjadi bagian asabah yang dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
A. Asabah binafsih
Asabah binafsih yaitu asabah yang berhak mendapat semua harta atau semua sisa, diatur menurut susunan sebagai berikut:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah asal saja pertaliannya masih terus laki – laki
3. Bapak
4. Kakek ( datuk ) dari pihak bapak dan terus keatas, asal saja pertaliannya belum putus dari pihak bapak
5. Saudara laki - laki sekandung
6. Saudara laki - laki sebapak
7. Anak saudara laki - laki kandung
8. Anak laki - laki kandung
9. Paman yang sekandung dengan bapak
10. Paman yang sebapak dengan bapak
11. Anak laki - laki paman yang sekandung dengan bapak
12. Anak laki - laki paman yang sebapak dengan bapak
Asabah - asabah tersebut dinamakan asabah binafsih, karena mereka langsung menjadi asabah tanpa disebabkan oleh orang lain. Apabila asabah tersebut diatas semuanya ada, maka tidak semua dari mereka mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang ( asabah ) yang lebih dekat dengan pertaliannya, dengan orang yang meninggal itu. Jadi, penentuannya diatur menurut nomor urut yang tersebut diatas.
Jika ahli waris yang ditinggalkan itu anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta atau semua sisa. Cara pembagiannya ialah untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan.
Artinya:”Allah telah menetapkan tentang pembagian harta warisan terhadap anak-anak. Untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan.” ( QS. An Nisa:11 )
B. Asabah Bilgair
Perempuan juga ada yang menjadi asabah dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah dengan ketentuan bahwa untuk laki-laki mendapat dua kali lipat perempuan
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki yang dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
3. Saudara laki-laki sekandung juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
4. Saudara laki-laki sebapak juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah
Keempat macam asabah diatas dinamakan asabah bilgair ( asabah dengan sebab orang lain ). Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara pembagiannya adalah untuk saudara laki - laki dua kali lipat perempuan( QS.An Nisa:176 )
C. Asabah Ma’algair
Selain daripada yang telah disebutkan sebelumnya, ada dua lagi asabah yang dinamakan asabah ma’algair ( asabah bersama orang lain ). Asabah ini hanya dua macam, yaitu sebagai berikut:
1. Saudara perempuan sekandung apabila ahli warisnya saudara perempuan sekandung ( seorang atau lebih ) dan anak perempuan ( seorang atau lebih ) atau saudara perempuan sekandung dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Sesudah ahli waris yang lain mengambil bagian masing-masing, sisanya menjadi bagian saudara perempuan tersebut.
2. Saudara perempuan sebapak apabila ahli saudara perempuan sebapak ( seorang atau lebih ) dan anak perempuan ( seorang atau lebih ), atau saudara perempuan sebapak dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Jadi, saudara perempuan sekandung atau sebapak dapat menjadi asabah ma’algair apabila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki. Akan tetapi, apabila mereka mempunyai saudara laki - laki maka kedudukannya berubah menjadi asabah bilgair ( saudara perempuan menjadi asabah karena ada saudara laki - laki ).
3.Hijab dan Mahjub
Hijab ( penghalang ), yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh tidak dapat menerima, atau bisa menerima, tetapi bagiannya menjadi berkurang.
Hijab dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Hijab hirma,yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sama sekali tidak menerima bagian. Contohnya, kakek terhalang oleh bapak, dan cucu terhalang oleh anak
2. Hijab nuqsan ( mengurangi ), yaitu ahli waris lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh bagiannya berkurang Contoh, jika jenazah meninggalkan anaknya, suami mendapat 1/4, dan jika tidak meninggalkan anak mendapat 1/2
Mahjub ( terhalang ), ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris waris yang lebih dekat sehingga sama sekali tidak dapat menerima, atau menerima, tetapi bagiannya berkurang
4. Batalnya Hak Menerima Waris
Sekalipun berhak menerima waris yang seseorang meninggal dunia, tetapi hak itu dapat batal karena hal - hal berikut ini.
1. Tidak beragama islam. Hukum islam hanya untuk umat islam, maka seorang bapak yang tidak beragama islam tidak mewarisi harta anaknya yang beragama islam, demikian juga sebaliknya
2. Murtad dari agama islam. Sekalipun mulanya beragama islam, tetapi kemudian pindah agama lain, maka ia tidak berhak lagi mempusakai harta keluarganya yang beragama islam
3. Membunuh. Orang yang membunuh tidak berhak mendapat harta waris dari orang yang dibunuhnya sebagaimana sabda Rasulullah.,”Tidaklah si pembunuh mewarisi harta orang yang dibunuhnya,sedikitpun. “( HR.Ahli Hadits )
4. Menjadi hamba. Seseorang yang menjadi hamba orang lain tidak berhak menerima harta waris dari keluarganya karena harta harta tersebut akan jatuh pula ketangan orang yang menjadi majikannya ( lihat QS.An Nahl:75 )
D. Ketentuan Tentang Harta Sebelum Pembagian Warisan
Pada saat jenazah telah dimakamkan, sebelum dilaksanakan pembagian warisan, pihak keluarga atau ahli waris terlebih dulu harus menyelesaikan beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan, yaitu sebagai berikut:
1. Zakat, apabila telah sampai saatnya untuk mengeluarkan zakat harta, maka harta peninggalan dikeluarkan untuk zakat mal terlebih dahulu atau zakat fitrah
2. Hutang, apabila si jenazah meninggalkan hutang, maka hutang itu harus dibayar lebih dulu
3. Biaya perawatan, yaitu pembelanjaan yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan dan pengurusan jenazah seperti membeli kain kafan dan biaya penguburan hingga si jenazah selesai dimakamkan
4. Membayar wasiat, apabila sebelum meninggal ia berwasiat, maka harus dibayarkan lebih dulu, asalkan tidak melebihi⅓ harta peninggalan. Berwasiat tidak dibenarkan kepada ahli waris karena mereka telah mendapat bagian dari harta warisan yang akan ditinggalkannya. Lain halnya semua ahli waris setuju bahwa sebagian dari harta peninggalan itu boleh di wasiatkan kepada seseorang di antara mereka
5. Memenuhi nazar jenazah ketika masih hidup dan belum sempat dilaksanakan. Misalnya, nazar untuk mewakafkan sebidang tanahnya, dan nazar untuk ibadah haji.
Apabila semua hak yang tersebut di atas telah di selesaikan semuanya, maka harta warisan yang masih ada dapat dibagi - bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
E. Perhitungan Dalam Pembagian Warisan
Jika seseorang meninggal dunia, kemudian ada ahli waris yang mendapat 1/6 bagian, dan seorang lagi mendapat 1/4 bagian, maka pertama - tama harus dicari KPK ( kelipatan persekutuan terkecil ) dari pembilang 6 dan 4, yaitu bilangan 12. Didalam ilmu faraid, KPK disebut asal masalah.
Asal masalah dalam ilmu faraid ada 7 macam, yaitu 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24.
Contoh kasus 1.
Ada seseorang perempuan meninggal dunia, ahli warisnya adalah bapak, ibu, suami, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Harta peninggalannya sebanyak Rp 1.800.000. Berapakah bagian masing - masing ahli waris?
Bapak = 1/6 ( karena ada anak laki-laki )
Ibu = 1/6 ( karena ada anak )
Suami = 1/4 ( karena ada anak )
Anak = Asabah ( karena ada anak laki-laki dan perempuan )
Asal masalah (KPK) = 12
Bapak = 1/6 * 12 = 2
Ibu = 1/6 * 12 = 2
Suami = 1/4 * 12 = 3
Jumlah = 7
Sisa ( bagian anak ) = 12 – 7 = 5
Bagian bapak = 2/12*Rp 1.800.000 = Rp 300.000
Bagian ibu = 2/12*Rp 1.800.000 = Rp 300.000
Bagian suami = 3/12*Rp 1.800.000 = Rp 450.000
Bagian anak = 5/12*Rp 1.800.000 = Rp 750.000
Untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan sehingga dua anak laki-laki mendapat empat bagian dan seorang anak perempuan mendapat satu bagian. Harga warisan sisanya dibagi lima(5).
Bagian seorang anak laki-laki =2/5 * Rp750.000 = Rp300.000
Bagian seorang anak perempuan =1/5 * Rp750.000 = Rp150.000
Didalam praktek pelaksanaan pembagian harta warisan, sering di jumpai kasus kelebihan atau kekurangan harta sehingga pembagian harta waris memerlukan metode perhitungan yang tepat.
Sebagaimana contoh 1, sebelum memulai pembagian harta warisan, lebih dulu harus ditetapkan angka asal masalah, yaitu mencari angka ( kelipatan persekutuan ) terkecil yang dapat dibagi oleh masing-masing angka penyebut dari bagian ahli waris guna memudahkan dalam operasional hitungan. Misalnya bagian ahli waris 1/2 dan 1/3, angka asal masalahnya ( KPK ) adalah 6 karena 6 dapat dibagi 2 dan 3 ( penyebutnya ). Bagian ahli waris 1/4, 2/3, 1/6, 1/4 angka asal masalahnya adalah 12 karena angka 12 dapat dibagi 2, 3, dan 6. Bagian ahli waris 1/8 dan 2/3, angka masalahnya 24 karena angka 24 dapat dibagi 8 dan 3. Demikian seterusnya.
F. Hukum Adat Tentang Warisan Dalam Pandangan Hukum Islam
Pembagian harta warisan menurut hukum adat biasanya dilakukan atas dasar kekeluargaan dan kerukunan serta keadilan antara para ahli waris. Masalah pihak yang berhak memperoleh warisan, biasanya diutamakan mereka yang paling dekat dengan si jenazah, bahkan secara adat biasanya anak angkatpun memperoleh warisan karena kedekatannya itu.
Menurut hukum adat, harta peninggalan itu terdiri dari:
1. Harta peninggalan yang tidak dibagi(contohnya harta pusaka menurut adat Minang Kabau)
2. Harta benda yang dibagi, yaitu:
a. Harta yang diberikan orang tua pada waktu mereka masih hidup. Dalam hal ini ayah membagi-bagikan harta kekayaannya kepada anak - anaknya atas dasar persamaan hak.
b. Harta yang diwariskan sewaktu orang tua masih hidup, tetapi penyerahannya dilakukan setelah ayah atau ibu wafat.
Pembagian harta warisan secara adat di beberapa daerah bermacam-macam bentuknya sesuai dengan karakter daerahnya masing-masing. Contonya di Aceh, pekarangan rumah peninggalan harus diberikan kepada anak perempuan yang tertua, sedangkan di daerah Sumatra utara ( Batak ), pekarangan rumah harus diberikan kepada anak laki-laki tertua atau termuda, sedangkan benda-benda keramat untuk anak laki-laki dan benda-benda perhiasan untuk perempuan.
1. Hukum Adat Yang Sesuai Dengan Hukum Islam
Sebagaiman telah disebutkan diatas, bahwa hukum waris yang diundangkan oleh islam terdapat 2 macam kebaikan:
a. Islam mengikut sertakan kaum wanita sebagai ahli waris sebagaimana kaum pria
b. Islam membagi harta warisan kepada segenap ahliu waris secara demokratis dan adil.
Dalam pembagian harta, biasanya berpijak pada dasar pemikiran yang konkret, yakni memandang kepada wujud harta yang di tinggalkan sehingga harta peninggalan itu tidak diperhitungkan secara rinci sesuai aturan agama. Pembagian dilakukan menurut keadaan bendanya dengan pembagian yang dipandang wajar misalnya ada yang memperoleh rumah, sawah, mobil, dan gedung.
Menurut hukum adat, penbagian harta warisan dilakukan setelah dibayarkan hutang-hutang dan sangkut paut lainnya dari orang yang meninggal. Oleh karena itu, hukum adat tersebut diatas mempunyai kemiripan, dan ketentuannya yang di benarkan oleh hukum waris menurut ajaran agama islam.
2. Hukum Adat Yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam
Adapun hukum adat yang tidak sesuai dengan ajaran islan adalah apabila pembagiannya hanya berdasarkan nafsu atau ketidakadilan, seperti halnya hanya memiih-milih atau terpaksa memberikan warisan karena adanya ancaman dari pihak ahli waris. Salah satu contoh yang tidak sesuai dengan hukum islam, antara lain anak angkat mendapat warisan, anak perempuan lebih banyak mendapatkan harta warisan dari anak-anak laki-laki, atau pembagian harta warisan tanpa ada musyawarah ( mufakat ) lebih dulu.
G. Hikmah Mawaris
Beberapa hikmah yang dapat diambil dari pengaturan waris menurut islam antara lain sebagai berikut:
1. Dengan adanya ketentuan waris itu disamping akan membawa keteraturan dan ketertiban dalam hal harta benda, juga untuk memelihara harta benda dari satu generasi ke generasi lain.
2. Dapat menegakan nilai-nilai perikemanusiaan, kebersamaan, dan demokratis di antara manusia, khususnya dalam soal yang menyangkut harta benda.
3. Dengan mempelajari ilmu waris berarti seorang muslim telah ikut memelihara dan melaksakan ketentuan-ketentuan dari Allah swt. Yang terdapat dalam Al Qur’an.
4. Menghindarkan perpecahan antar keluarga yang disebabkan oleh pembagian harta warisan yang tidak adil. Mengalirkan harta peninggalan kepada yang lebih bermanfa’at agar lebih terjaminnya kesejahteraan keluarga secara merata.
5. Memelihara harta peninggalan dengan baik sehingga harta itu menjadi amal jariah bagi si jenazah.
6. Memperhatikan anak yatim karena dengan harta yang di tinggalkan oleh orang tuanya kehidupan anak - anak yang di tinggalkan itu akan lebih terjamin.
7. Dengan pembagian yang merata sesuai dengan syariat, maka masing-masing anggota keluarga akan merasakan suatu kepuasan sehingga dapat hidup dengan tentram.
8. Dengan mengetahui ilmu mawaris, maka setiap anggota keluarga akan memahami hak-hak dirinya dan hak-hak orang lain, sehingga tidak akan terjadi perebutan terhadap harta warisan tersebut.
MAWARIS
A. Pengertian Ilmu Mawaris
Kata Al Mawarits adalah jamak dari kata Mirots, yaitu harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya.
Orang yang meninggalkan harta tersebut dinamakan Al Muwaaritsu, sedang ahli waris disebut dengan Al-Warits. Al Faraidh adalah kata jamak bagi al fariidhoh artinya bagian yang ditentukan kadarnya. Perkataan Al-Fardhu, sebagai suku kata dari lafad fariidhoh.Fara’idh dalam arti mawaris, hukum waris mewaris. Dimaksud sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut ketentuan syara’.
Ilmu Fara’idh dapat didefiniskan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris.
Definisi inipun berlaku juga bagi Ilmu Mawarits, sebab ilmu mawarits adalah nama lain bagi Ilmu Fara’idh.
Untuk mengetahui siapa-siapa yang memperoleh harta waris, maka perlu diteliti terlebih dahulu ahli-ahli waris yang ditinggalkan. Akemudian baru ditetapkan, siapa diantara mereka yang mendapat bagian dan yang tidak mendapat bagian.
Sumber hukum Islam tentang waris adalah asal hukum islam tentang waris. Sumber Hukum Islam tersebut adalah :
1. Al Qur’an
2. As Sunah
3. Ijma’
4. ijtihad
.
A. Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Fara’idh Serta Kepentingannya Dalam Pembinaan Keluarga
Hukum mempelajari Ilmu Fara’idh adalah fardhu kifayah, artinya bila sudah ada satu orang yang mempelajarinya maka gugurlh kewajiban itu bagi orang lain. Begitu juga dalam mengajarkannya. Begitu pentingnya Ilm Fara’idh, smpai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai separoh ilmu. Disamping itu oleh Beliau diingatkan bahwa ilmu inilah yang pertama kali akan dicabut. Artinya, pada kenyataannya hingga sekarang tidak banyak orang yang mempelajari Ilmu Fara’idh, karene memang sukar dan dikhawatirkan Ilmu ini lama kelamaan akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya . Lebih-lebih apabila orang akan membagi harta warisannya berdsarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tidak berdasarkan hukum Alloh SWT.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
Artinya : “Pelajarilah Al-Fara’idh dan ajarkanlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya ilmu fara’idh itu separoh ilmu, dan iapun akan dilupakan serta iapun merupakan ilmu yang pertama kali akan dicabut di kalangan umatku. (HR. Ibnu Majah dan Ad Daruquthniy).
Masalah harta peninggalan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima. Dan juga seberapa banyak haknya. Hal ini mnimbulkan perselisihan dan akhirnya menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, tetepi belum tentu orang lain menganggap adil.
Oleh karena itu, didalam Islam memberikan ketentuan-ketentuan yang konkret mengenai hak waris. Sehingga apabila dilandasi ketaqwaan kepada Alloh SWT semuanya akan berjalan lancar dan tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan keluargapun akan tercapai. Ketentuan dari Alloh SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari siapa yang mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah dari Alloh SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Alloh SWT.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
Artinya :”Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut Kitabulloh. (HR. Muslim Dan Abu Dawud).
Disamping itu Alloh berfirman :
Artinya : “ Dan siapa yang melanggar Alloh dan Rosul-Nya melampaui batas ketentuannya, Alloh akan memasukannya kedalam api neraka, ia kekal disitu, dan iapun mendapatkan siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa : 14).
Dengan demikian semuanya termasuk apabila terdapat perselisihan, di kembalikan kepada Alloh SWT dan Rosul-Nya. Sehingga tidak ada celah-celah untuk saling sengketa dan bertengkar. Dan karena itu kekeluargaan dan hubungan kefamilian tetap terbina dengan baik serta rukun dan tenteram. Di dalam hal ini, Islam memberikan prinsip-prinsip antara lain :
1) Kepentingan dan keinginan orang yang meninggal (yang semula memiliki harta benda) diperhatikan selayaknya, dengan memberikan hak wasiat, biaya pemakaman dan sebagainya.
2) kepentingan keluargayang ditinggal. Terutama anak cucu mendapatkan perhatian lebih banyak, juga ayah ibu, disamping anggota keluarga yang lain. Seimbang dengan jauh dekatnya hubungan keluarga.
3) Keseimbangan kebutuhan nyata dan rata-rata dari tiap-tiap ahli waris mendapat perhatian yang seimbang pula, ahli waris pria yang nyatanya memerlukan lebih banyak biaya hidup bagi diri dan keluarganya mendapat bagian lebih banyak dari ahli waris wanita.
4) Beberapa hal yang berhubungan dengan kesalahan-kesalahan ahli waris dan yang berhubungan dengan itikad keagamaan, bisa menimbulkan akibat hilangnya hak waris, umpamanya pembunuhan, perbedaan agama dan sebagainya.
Prinsip-prinsip tersebut dibuat dengan maksud :
a) Harta benda yang merupakan Rahmat Alloh itu diatur menurut ajaran-Nya.
b) Harta benda yang didapat dengan susah payah oleh almarhum tidak menimbulkan percekcokan keluarga yang hanya tinggal menerima saja.
c) Harta benda itu dapat dimanfaatkan dengan tenang, tenteram, sesuai dengan tuntunan Alloh SWT.
Jadi, hukum waris harus dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan sukarela untuk membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak dengan maksud untuk menentang hukum Alloh SWT, tetapi ada sebab-sebab lain, misalnya : harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian terbanyak, dan sebagainya. Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu perdamaian antara seluruh ahli waris yang secara sepakat untuk mengatur pembagian harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Juga setiap ahli waris berhak meminta atau menerima pembagian harta waris karena kesukarelaannya sendiri.
Pembagian harta warisan dalam masyarakat jahiliyah (sebelum Islam dating) didasarkan atas nasab dan kekerabatan. Dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu lelaki yang sudah dapat memanggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapat warisan. Bahkan orang-orang perempuan, yaiti isteri ayah atau isteri saudara dijadikan harta pusaka. Kekerabatan lelaki inilah yang menjadi syarat bagi waris-mewaris dizaman jahiliyah. Termasuk janji atau pengangkatan bersaudara dan juga pengangkatan anak.
Orang yang telah melakukan perjanjian, apabila salah seorang meninggal, yang hidup berhak seperenam dari harta pusakanya, dan baru sisany adibagi diantara ahli warisnya. Orang mewarisi berdasarkan janji inipun adalah orang laki-laki. Sama seperti waris-mewaris dikalangan kerabat sendiri. Waris-mewaris dari persaudaraan yang seperti itu hanya untuk lelaki dan apabila sudah dewasa. Pengangkatan anak berlaku dikalangan jahiliyah. dan apabila sudah dewasa, si anak angkat mempunyai hak sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu apabila ba[pak angkat meninggal, maka anak ankat mempunyai hak mawaris sepenuhpenuhnya atas harta benda bapak angkatnya.
Pengangkatan anak pernah terjadi pada Nabi Muhammad SAW. Mengangkat Zaid bin Muhammad, sebagai anak angkatnya setelah ia dibebaskan dari perbudakan. Karena angnkatnya dianggap sama dengan anak kandung, pada saat itu penisbatananak angkat tidak pada ayah yang sebenarnya, tetapi kepada ayah angkatnya. Itu sebabnya tidak disebut Zaid bi Harits, tetapi Zaid bin Muhammad. Tetapi didalam perkembangannya, masalah pengangkatan anak ini dihapus oleh Islam dan pengangkatan anak tidak menyebabkan si anak angkat berkedudukan sebagai anak kandung. Ia tetap sebagai orang lain.
C. Rukun kewarisan, sebab-sebab kewarisan dan penghalang-penghalang kewarisan
a. Rukun-rukun waris
Rukun-rukun waris itu ada tiga :
1) Muwarrits
Yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik meninggal dunia secara hakiki, atau akarena keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan beberapa sebab.
2) Mauruts
Yaitu harta peninggalan si mati yang akan dipusakai setelah dikurangi biaya perawatan , hutang-hutang, zakat dan setelah digunakan untuk melaksanakan wasiat. Harta pusaka disebut juga Mirots, Irts, Turots Dan Tarikah.
3) Warits
Yaitu orang yang akan mewarisi, yang akan mempunyai hubungan dengan si Muwarits, baik hubungan itu karena hubungan itu kekeluargaan atau perkawinan.
Mengenai rukun kewarisan, ada yang memerlukan penjelasan yang rinci, sehingga memudahkan memahami uraian selanjutnya.
Mauruts (tirkah, tarikah, warisan) ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, yang dibenarkan dipusakai menurut ketentuan Hukm Islam. Harta peninggalan itu harus dipahami dengan pengertian yang luas. Didalamnya tercakup :
1. harta benda yang mempunyai nilai kebendaan
kedalam kelompok ini termasuk benda-benda yang tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang Orang yang meninggal, surat-surat berharga, dan lain-lain yang dipandang sah menjadi miliknya.
2. hak-hak kebendaan kedalam
kedalam kelompok ini termasuk hak monopoli untuk memungut hasil dari jalan lalu lintas, sumber air minum dan lain-lainnya.
3. Benda-benda yang ada ditangan orang lain
Termasuk kedalam kelompok ini ialah seperti, barang gadaian dan barang yang sudah dibeli dari orang lain tetapi belum diserah terimaan kepada orang yang sudah meninggal itu.
4. Hak-hak yang bukan benda
Termasuk kedalam kelompok adalah seperti hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan bagi tetangga, serikat) dan memanfaatkan barang yang diwasiatkan atau yang diwakafkan.
Mengenai harta warisan ini, para ulama berbeda pendapat dalam memberi takrif (definisinya).
a. Fuqaha Hanafiyah
Dikalangan Fuqaha hanafiyah sendiri ada tiga pendapat :
1) Sebagian mereka berpendapat, bahwa harta peninggalan itu tidak mempunyai ha dengan orang lain. Dengan demikian, harta warisan menurut kelompok ini hanya kelompok harta benda yang mempunyai nilai kebendaan dan hak-hak kebendaan.
2) Sebagian mereka berpendapat bahwa harta warisan itu adalah sisa harta sesudah diambil biaya perawatan, jenazah dan pelunasan hutang.
3) Sebagian mereka berpendapat, bahwa harta warisa itu diartikan secara mutlak, yaitu apa saja yang dianggap menjadi milik orang yang meninggal itu.
b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm berpendapat bahwa harta yang dapat dijadikan warisan hanya harta benda saja, tidak termasuk hak-hak dari orang yang maeninggal itu.
c. Fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah
Ulama-ulama tersebut berpendapat bahwa semua peninggalan, baik berupa benda maupun bukan benda termasuk kedalam tirkah atau warisan.
b. Sebab-sebab kewarisan
Seseorng tidak mendapatkan warisan kecual karena salah satu sebab dari sebab-sebab berikut ini :
1) Nasab
Yaitu kekerabatan. Artinya, Ahli waris ialahayah dari pihak yang diwarisi atau anak-anaknya. Dan jalur sampingnya seperti saudara-saudara beserta anak-anak mereka dan paman-paman dari jalur ayah beserta anak-anak mereka, jarena Alloh SWT berfirman yang artinya : “ Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami menjadikan pewaris-pewarisnya.” (QS. An-Nisa : 33).
2) Pernikahan
Yaitu akad yang benar terhadap isteri, kendati suaminya belum menggauli dan belum berduaan dengannya. Karena Alloh SWT berfirman yang artinya : “Dan bagi kalian (suami-suami) seperdua dari harta yang ditingalkan oleh isteri-isteri kalian.” (QS. An-Nisa : 12)
3) Wala’
Yaitu seseorang memerdekakan budak laki-laki atau perempuan. Dan dengan ia memerdekakannya, maka kekerabatan budak tersebut menjadi miliknya. Jadi, jika budak yang ia merdekakan meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris, maka hartyanya diwariskan kepada orang yang memerdekakannya. Karena Rosululloh SAW bersabda :
“Wala’ itu milik orang yang memerdekakannya.” (Muttafaq‘Alaih).
D. Penghalang-Penghalang Warisan
Bisa jadi, sebab-sebab warisan itu ada, namun sebab-sebab tersebut dihalang-halangi oleh penghalang hingga seseorang tidak dapat mewarisi dri pihak lain.
Penghalang-penghalang warisan tersebut adalah :
1) Kekafiran
Kerabat yang Muslim tidak bias mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak bias mewarisi kerabat yang Muslim. Rosululloh bersabda :
“Orang kafir tidak bisa mewarisi orang Muslim dan orang Muslim tidak bisa mewarisi orang kafir.” (Muttafaq ‘Alaih).
2) Pembunuhan
Pembunuh tidak bisa mewarisi orang yang dibunuhnya sebagai hukuman atas pembunuhannya tersebut. Dan itu jika pembunhan tersebut dilakukan dengan sengaja. Rosululloh SAW bersabda :
“Pembunuh tidak berhak atas sesuatu apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (Diriwayatkan Ibnu Abdilbar dan Ia menshahihkannya)
Menurut ulama Hanafiyah, pembunuhan yang menghalangi memperoleh harta warisan adalah pembunuhan yang bersanksi Qishas dan yang bersanksi kaffaroh.
Pembunuhan yang bersanksi Qishas ialah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja untuk membunuh dengan mempergunakan alat-alat yang mematikan.
Alloh berfirman :
Artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman, Alloh telah menentukan kepadamu sekalian dipidana dengan Qishas atau pembunuhan………. (QS. Al Baqoroh :178).
Alloh juga berfirman :
Artinya : “Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya adalah neraka jahanam, kekal disana. (QS. An Nisa : 93 ).
Adapun pembunuhan bersanksi kaffaroh ialah pembunuhanyang dipidana berupa membebaskan budak yang islam atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Pembunuhan yang bersanksi kaffaroh ada tiga macam :
Syibhul ‘amdi (serupa atau mirip dengan sengaja).
Qatlul Khoto’i (membunuh karena keliru).
Al-Jari majrol Khoto’i (membunuh yang dianggap keliru).
Ulama Syafi’iyah berpendapat tidak membeda-bedakan antara penbunuh dengan sengaja atau tidak sengaja sebagai penghalang memperoleh warisan. Segala macam pembunuhan dianggap sebagai penghalang untuk memperoleh warisa. Bahkan apabila si pembunuh lantaran melakukan tugas Qishas dan kepala Negara melakukan tugas itu, hakim yang memutuskan pidana mati, saksi yag menjadi saksi dan lantaran kesaksiannya terjadi pelenyepan nyawa seseorang. Semua keadaan dan perbuatan terssebut menjadi penghalang untuk memperoleh harta warisan.
Menurut Ulama Hanbaliyah, semua pembunuhan yang mengakibatkan Qishas seperti pembunuhan yang disengaja dan pembunuhan yang menyebabkan diyat, seperti pembunuhan yang tidak disengaja dan serupa dengan sengaja. Demikian juga pembunuhan yang menyebabkan kaffaroh, seperti pembunuhan keluarga muslim yang berjuang dalam barisan orang kafir yang menjadi musuh perang umat islam tanpa diketahui kalau mereka itu muslim, semua itu menghalangi untuk memperoleh warisan. Sedang pembunuhan yang tidak menyebabkan sesuatu seperti pembunuhan yang dibenarkan oleh agama, tidaklah menghalangi untuk memperoleh harta warisan.
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah hanya mengenal dua macam pembunuhan. Yaitu pembunuhan yang disengaja dan yang tidak disengaja. Apabila si pembunuh berniat membunuh, pembunuhan itu dikategorikan yang disengaja. Dan apabila tidak dimaksud untuk membunuh, pembunuhan itu yang tidak disengaja. Jadi, maksud dan niat itulah yang penting. Tidak peduli apakah pembunuhan itu langsung atau tidak langsung (tasabbub), oleh orang yang berakaal maupun gila, dan ssebagainya. Asal memang ada maksud, tentulah itu pembunuhan yang disengaja.
Pembunuhan yang sengaja itu menghalangi seseorang untuk memperolah harta wariasan. Dan pembunuhan tidak langsung, asal itu sudah ada niat juga menjadi penghalang untuk memperolah warisan.
3) Perbudakan
Budak tidak bisa mewarisi dan tidak bisa diwarisi. Baik itu budak sempurna atau orang yang diperbudak sebagian seperti budak Mukatib (budak yang dalam proses kemerdekaan dirinya dengan membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), atau ibu dari anak majikan (karena majikan menggauli budak wanita tersebut hingga melahirkan anak), karena mereka semua dalam cakupan perbudakan. Sebagian ulama mengecualikan orang yang diperbudak sebagian bahwa ia bisa mewarisi dan bisa diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan hadits dari Abdulloh bin Al-Abbas RA bahwa Rosululloh SAW bersabda tentang budak yang dimerdekakan sebagiannya.
“Ia berhak mewarisi dan siwarisi sesuai dengan apa yang telah dimerdekakan darinya.”
4) Zina
Hasil zina tidak bisa mewarisi ayahnya dan tidak bisa diwarisi ayahnya. Ia hanya bisa mewarisi Ibunya dan diwarisi ibunya. Rosululloh SAW bersabda :
“Anak itu milik ranjang (maksudnya pemilik ranjang, yaitu suami) dan pezina berhak atas kerugian.” (Muttafaq Alaih)
5) Li’an
Anak suami-isteri yang mengadakan Li’an itu tidak bisa mewarisi ayah yang tidak mengakuinya sebagai anak dan ayahnya juga tidak bisa mewarisinya. Ini diqiyaskan dengan anak hasil zina.
6) Tidak menangis waktu lahir
Anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan meninggal dunia dan tidak bisa menangis ketika lahir itu tidak bisa mewarisi dan tidak bisa diwarisi, karena tidak ada kehidupan yang disusul dengan kehidupan, kemudian warisan terjadi karenanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar